Pagi hari bercampur kabut nan petang, sebuah mata tertuju pada keindahan terbit mentari di pelupuk mata. Hingga tak terasa sebuah rintik hujan basahi padang kemarau. Semua tampak seperti biasa walau berbeda tak bertemu.
Inilah saat dimana aku menjalani ujian berkehidupan indah dalam keramaian. Lanjutkan pecahkan sebuah teori tentang urusan perekonomian yang terhempas ke sebuah jurang, terombang-ambing antara terjerembab dan bertahan. Semua membingungkan, tiada aku pelajari dalam manuskrip-manuskrip kuno, ataupun teori materialistik. Hingga aku terdampar di sebuah kejernihan sungai yang dasarnya dipenuhi batu-batu cadas berlapis tumbuhan perintis. Terlihat tanda kehidupan yang menggairahkan di tengah kepenatan saat mentari tepat di atas kepalaku.
Mungkin inilah saatnya, gemingku. Ku lepas sepatu dan ku hempaskan bersama perbekalanku, melipat celana hingga lutut. Kemudian ku datangi epi sungai, tangkap ikan yang sedang asyik bermain indahnya kilau pantulan sinar kehidupan.
Cobaku berkali-kali, tak buahkan hasil. Dengan berjalannya waktu, hup. . . kudapatkan seekor tampilan kehidupan nekton yang berteriak ketakutan, menggelepar.
Seakan-akan meratap kepadaku pada sebuah pinta terkhir, ” wahai makhluk tuhan, lepaskan aku”.
Huh…lirihku tanya mengapa?
Tiada berguna hidup ikan menghela nafas panjang memohon, rintihnya terdengar mengelegar di setiap penjuru, “Tidakkah kau lihat, aku ini kecil, tak sebanding dengan kalori yang kau butuhkan”.
Dan tiada sabar aku mulai bermain dalam keasyikan, “lalu kenapa”?
Bagai kehabisan akal, ikan dengan mata tiada kedip, coba berbisik pada ku, ” tolong kembalikan aku ke sungai. Setelah beberapa bulan aku akan tumbuh menjadi ikan yang besar. Di saat itu kau bisa menangkapku dan memakanku untuk memenuhi seleramu,” kata ikan.
Ha ha ha. . . . . aku tertawa dalam sebuah kejadian besar menggemparkan. “Tahukah kenapa aku mejadi makhluk yang mendominasi kehidupan di bumi ini?” ujarku pada genggamanku.
“Kenapa ?” tanya dengan penuh ketakutan.
Mau tau kenapa? “Karena aku tak melepas setiap genggaman yang kudapatkan, bahkan dengan ikan yang tidak telalu cukup untukku.”
Tak selang beberapa waktu menjelang saat mentari agak menoleh sedikit, pembakaran telah siap memanggang penganjal perutku. Dan ketika mentari agak lelah, hingga tolehannya keterusan, sesantap lezat telah siap.
Hup. . . .
Serasa di dunia lain, diemani semilir angin dengan gemericik air, kunikmati jerih payahku, ikan bakar.
Aku termenung sejenak, tiadakah aku berbuat kebajikan. Ku telah hancurkan harapan nekton menjadi ampas di pembuangan akhir. Tapi biarlah semua yang terjadi tetap terjadi, harusku esok lebih tiada lagi.
Hingga suatu masa, saat keheningan tepian aliran kejernihan menghibur dan memanjakan diriku. Buat terlelap aku dalam mimpi indah setelah semua apa yang terjadi, terdampar pada indahnya segenggam cinta. Tak terasa apa yang berubah pada sekitar, semua telah berubah. Sinar mentari yang saat awal tersenyum indah, kini tertutup oleh awan. Bawa titik-titik hujan yang semakin meningkat kuantitasnya. Aku terbangun; berpikir sejenak kemana akan teduhkan diri.

Aku berlari ke utara dimana ada sebuah gubuk tua tertingal oleh kepergian pemiliknya. Lari dengan sisa tenaga dan dengan cepat bayangkan chetah berburu mangsa. Selamatkan dari basah dengan hujan yang kian derasnya. Semakin dekat dan dekat, hingga tak tersa di pelupuk mata menyapa.
“Wuhh. . . akhirnya sampai juga”, gumamku dengan dada naik turun rasa bawa beban ratusan pon. Tak ku pikir lama, ku buka pintu hindari angin yang membekukan tulang-tulang dan pikiranku. Pelan dan pelan tapi pasti terbuka seluruh rahasia.
“Oh my God”, kagetku pada sesosok penghuni gubuk ini. Aku heran naik turun karena ini merupakan gubuk kosong, ribuan tahun. Ku amati, cerna, hingga terserap oleh usus halus dan tersebar ke seluruh tubuh. Dan yakin, tiada apa. Belum sempat ku berkata, sebuah suara menggaung. . .
“anak, ujianmu belum selesai”, gaungan penghuni gubuk itu.
Inilah saat dimana aku menjalani ujian berkehidupan indah dalam keramaian. Lanjutkan pecahkan sebuah teori tentang urusan perekonomian yang terhempas ke sebuah jurang, terombang-ambing antara terjerembab dan bertahan. Semua membingungkan, tiada aku pelajari dalam manuskrip-manuskrip kuno, ataupun teori materialistik. Hingga aku terdampar di sebuah kejernihan sungai yang dasarnya dipenuhi batu-batu cadas berlapis tumbuhan perintis. Terlihat tanda kehidupan yang menggairahkan di tengah kepenatan saat mentari tepat di atas kepalaku.
Mungkin inilah saatnya, gemingku. Ku lepas sepatu dan ku hempaskan bersama perbekalanku, melipat celana hingga lutut. Kemudian ku datangi epi sungai, tangkap ikan yang sedang asyik bermain indahnya kilau pantulan sinar kehidupan.
Cobaku berkali-kali, tak buahkan hasil. Dengan berjalannya waktu, hup. . . kudapatkan seekor tampilan kehidupan nekton yang berteriak ketakutan, menggelepar.
Seakan-akan meratap kepadaku pada sebuah pinta terkhir, ” wahai makhluk tuhan, lepaskan aku”.
Huh…lirihku tanya mengapa?
Tiada berguna hidup ikan menghela nafas panjang memohon, rintihnya terdengar mengelegar di setiap penjuru, “Tidakkah kau lihat, aku ini kecil, tak sebanding dengan kalori yang kau butuhkan”.
Dan tiada sabar aku mulai bermain dalam keasyikan, “lalu kenapa”?
Bagai kehabisan akal, ikan dengan mata tiada kedip, coba berbisik pada ku, ” tolong kembalikan aku ke sungai. Setelah beberapa bulan aku akan tumbuh menjadi ikan yang besar. Di saat itu kau bisa menangkapku dan memakanku untuk memenuhi seleramu,” kata ikan.
Ha ha ha. . . . . aku tertawa dalam sebuah kejadian besar menggemparkan. “Tahukah kenapa aku mejadi makhluk yang mendominasi kehidupan di bumi ini?” ujarku pada genggamanku.
“Kenapa ?” tanya dengan penuh ketakutan.
Mau tau kenapa? “Karena aku tak melepas setiap genggaman yang kudapatkan, bahkan dengan ikan yang tidak telalu cukup untukku.”
Tak selang beberapa waktu menjelang saat mentari agak menoleh sedikit, pembakaran telah siap memanggang penganjal perutku. Dan ketika mentari agak lelah, hingga tolehannya keterusan, sesantap lezat telah siap.
Hup. . . .
Serasa di dunia lain, diemani semilir angin dengan gemericik air, kunikmati jerih payahku, ikan bakar.
♦ ♦ ♦ ♦
Ku kenang saat suara-suara indah datang dari guruku yang telah memberiku pengembangan diri. Agar semua lebih berarti, tak seperti apa yang tiada diinginkan. Dia berkata : “intropeksilah dirimu dimalam hari sebelum kepergianmu pada dunia, ingatlah apa yang telah kau kerjakan di saat kamu berkeliaran dimukan bumi. Sudahkah kamu bebuat kebajikan? Evaluasilah dirimu dalam renungan yang kau lakukan. Banyak berbuat dan mencoba berbuat kebajikan. Banyak beribadah dan berdoalah kamu.”Aku termenung sejenak, tiadakah aku berbuat kebajikan. Ku telah hancurkan harapan nekton menjadi ampas di pembuangan akhir. Tapi biarlah semua yang terjadi tetap terjadi, harusku esok lebih tiada lagi.
Hingga suatu masa, saat keheningan tepian aliran kejernihan menghibur dan memanjakan diriku. Buat terlelap aku dalam mimpi indah setelah semua apa yang terjadi, terdampar pada indahnya segenggam cinta. Tak terasa apa yang berubah pada sekitar, semua telah berubah. Sinar mentari yang saat awal tersenyum indah, kini tertutup oleh awan. Bawa titik-titik hujan yang semakin meningkat kuantitasnya. Aku terbangun; berpikir sejenak kemana akan teduhkan diri.

Aku berlari ke utara dimana ada sebuah gubuk tua tertingal oleh kepergian pemiliknya. Lari dengan sisa tenaga dan dengan cepat bayangkan chetah berburu mangsa. Selamatkan dari basah dengan hujan yang kian derasnya. Semakin dekat dan dekat, hingga tak tersa di pelupuk mata menyapa.
“Wuhh. . . akhirnya sampai juga”, gumamku dengan dada naik turun rasa bawa beban ratusan pon. Tak ku pikir lama, ku buka pintu hindari angin yang membekukan tulang-tulang dan pikiranku. Pelan dan pelan tapi pasti terbuka seluruh rahasia.
“Oh my God”, kagetku pada sesosok penghuni gubuk ini. Aku heran naik turun karena ini merupakan gubuk kosong, ribuan tahun. Ku amati, cerna, hingga terserap oleh usus halus dan tersebar ke seluruh tubuh. Dan yakin, tiada apa. Belum sempat ku berkata, sebuah suara menggaung. . .
“anak, ujianmu belum selesai”, gaungan penghuni gubuk itu.
Aku kan, aku harus pergi ke sisi kehidupan di dunia ini yang tiada aku mengerti. Bicara apa terbangun seketika, aku seakan tersadar semua telah terjadi. Aku pun teringat, memang ujianku belum selesai, masih ada satu yang harus ku temukan jawabannya. Setelah asyik menyantap harus terusap, karena asing terasa di lidah, telinga, hingga penglihatan ikut merasakan asingnya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar